Jogja Tak Lagi Romantis untuk Petani


oleh Anindita Kyla Putri
Mahasiswi Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Jakarta

Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar, kini menyimpan kenyataan yang tidak seindah gambaran romantisnya. Di balik geliat pembangunan yang kian pesat, kota ini perlahan kehilangan salah satu identitas utamanya: kehidupan agraris yang damai dan berkelanjutan. Lahan-lahan pertanian yang dulu membentang luas di kaki Merapi dan sepanjang aliran sungai Progo kini berubah wajah. Sawah-sawah menghilang, tergantikan oleh perumahan elit, vila wisata, dan pusat komersial. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan DIY tahun 2023, lebih dari 1.200 hektare lahan pertanian produktif di DIY telah beralih fungsi hanya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kabupaten Sleman dan Bantul menjadi wilayah dengan tingkat konversi tertinggi, menyumbang hampir 70% dari total lahan yang hilang.

Lahan pertanian bukan sekadar ruang untuk menanam padi atau sayur. Ia adalah tumpuan hidup ribuan keluarga petani, penjaga cadangan pangan, serta pelindung lingkungan dari kerusakan yang ditimbulkan pembangunan tak terkendali. Namun ketika lahan berubah menjadi bangunan beton dan aspal, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh petani, tapi juga masyarakat secara luas. Ketahanan pangan daerah menjadi rapuh, air tanah semakin sulit diserap, suhu lingkungan meningkat, dan desa-desa kehilangan daya dukung ekologisnya. Dampak lingkungan dari alih fungsi lahan ini semakin terasa di daerah-daerah yang mengalami urbanisasi cepat. Kawasan seperti Godean, Ngaglik, dan Sewon yang dulu sejuk dan hijau kini mulai menghadapi banjir lokal dan suhu udara yang makin panas.

Kehidupan petani menjadi kelompok yang paling terdampak dari alih fungsi lahan. Banyak di antara mereka kehilangan sebagian atau seluruh lahan garapan karena terdesak kebutuhan ekonomi dan minimnya dukungan kebijakan. Ketika hasil panen tidak lagi mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, menjual tanah menjadi pilihan terakhir yang terpaksa diambil. Ironisnya, lahan yang dijual tersebut kerap kali berubah menjadi perumahan, hotel, atau vila yang dibangun tanpa mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem desa. Para petani yang sebelumnya memiliki otonomi atas tanah kini berubah menjadi buruh kasar atau pekerja informal dengan penghasilan tidak menentu. Kehilangan lahan berarti kehilangan sumber produksi, penghidupan, serta posisi sosial yang selama ini melekat erat dengan identitas mereka sebagai penjaga bumi dan penyedia pangan. Transformasi ruang ini bukan hanya mengubah fungsi lahan, tetapi juga mengguncang struktur sosial dan budaya yang telah lama tumbuh di masyarakat agraris.

Konversi lahan juga menciptakan krisis regenerasi petani. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, pada tahun 2022 hanya 9,3% pemuda usia 18–35 tahun yang tertarik bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar lebih memilih menjadi ojek daring, pekerja kafe, atau merantau ke kota besar karena menganggap bertani tidak menjanjikan secara ekonomi. Kondisi ini menjadi ancaman nyata terhadap keberlanjutan pertanian jangka panjang. Ketika tidak ada generasi penerus yang mau menggarap lahan, maka sawah yang tersisa pun terancam tidak terurus atau dijual ke pihak luar.

Di sisi kebijakan, pembangunan seringkali tidak berpihak pada petani. Pemerintah daerah cenderung mendorong ekspansi sektor pariwisata dan properti sebagai sumber peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun langkah ini kerap mengabaikan perlindungan atas lahan pertanian. Rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) kerap kali direvisi demi mengakomodasi kepentingan investor, bukan menjaga ruang hidup rakyat kecil. Dalam banyak kasus, petani tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka hanya diberi informasi sepihak ketika tanah mereka akan dialihfungsikan. Bahkan di beberapa tempat seperti Imogiri dan Kalasan, konflik agraria muncul karena petani menolak menyerahkan tanah mereka untuk proyek wisata atau jalan tol.

Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari konversi lahan memang tampak menjanjikan dalam jangka pendek. Sektor konstruksi, jasa, dan perdagangan meningkat tajam. Namun dalam jangka panjang, kerugian yang ditimbulkan bisa jauh lebih besar. Ketika produksi pangan lokal menurun, DIY akan semakin bergantung pada pasokan dari luar daerah. Ketergantungan ini menjadikan Yogyakarta rentan terhadap krisis distribusi pangan, terutama saat terjadi gangguan logistik atau fluktuasi harga nasional. Kota yang kehilangan kemampuan untuk memberi makan penduduknya sendiri adalah kota yang kehilangan kemandirian. Jika situasi ini terus berlanjut tanpa intervensi kebijakan yang berpihak, maka kedaulatan pangan hanya akan menjadi jargon kosong dalam dokumen perencanaan daerah.

Pemerintah seharusnya mengambil sikap tegas dalam menjaga lahan pertanian yang tersisa. Penetapan zona pertanian abadi atau lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) harus dilakukan secara konsisten dan tidak boleh diubah demi kepentingan investasi sesaat. Perlu ada pengawasan ketat terhadap pelanggaran konversi dan pemberian sanksi terhadap pengembang yang melanggar aturan zonasi. Pemerintah juga harus memperkuat lembaga perlindungan petani agar mereka memiliki kepastian hukum atas tanah yang mereka kelola. Selain itu, penting juga mendorong sinergi antara kampus, petani, dan pemerintah daerah untuk riset pertanian berkelanjutan. Kemitraan ini bisa mendorong inovasi bibit lokal, diversifikasi komoditas, hingga kebijakan distribusi hasil tani yang lebih adil dan transparan.

Insentif bagi petani harus menjadi prioritas, bukan pelengkap. Bantuan alat dan teknologi pertanian, subsidi benih dan pupuk, serta pelatihan pertanian organik dan berkelanjutan harus digencarkan. Koperasi tani perlu didukung untuk memperkuat posisi tawar petani di pasar. Akses pembiayaan pertanian melalui kredit usaha rakyat (KUR) dan program pendampingan juga harus dipermudah, agar petani tidak lagi terjebak utang dengan bunga tinggi dari tengkulak. Edukasi finansial dan literasi pasar juga penting diberikan kepada komunitas tani agar mereka bisa bertahan di tengah gempuran sistem distribusi modern yang tidak selalu adil.

Langkah inovatif seperti pengembangan pertanian urban, kebun komunitas, dan hidroponik di lingkungan kota juga dapat menjadi solusi untuk menjaga produksi pangan lokal di tengah keterbatasan lahan. Pemanfaatan lahan tidur di perkotaan untuk pertanian skala kecil bisa menjadi alternatif yang mempertemukan kebutuhan pangan dengan gaya hidup masyarakat urban yang lebih sadar lingkungan. Yogyakarta, dengan kekayaan intelektual dari kampus-kampus ternama dan komunitas kreatif, memiliki modal kuat untuk menjadi pelopor pertanian berbasis ekologi dan teknologi terapan. Kolaborasi lintas sektor ini akan sangat menentukan apakah pertanian di Jogja akan bertahan, atau justru hilang perlahan dalam diam.

Romantisme Jogja selama ini tumbuh dari kesederhanaan, kedekatan dengan alam, dan kehidupan desa yang bersahaja. Namun jika lahan pertanian terus dikorbankan demi kepentingan ekonomi jangka pendek, maka Jogja akan kehilangan jiwanya. Kota ini akan berubah menjadi ruang konsumsi semata, indah bagi pelancong, tapi menyisakan luka bagi petani dan warga lokal. Yang dulu membangun kehidupan dari tanah kini tersingkir dari tanahnya sendiri. Jika tidak ada keberanian politik untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlangsungan pertanian, maka masa depan DIY sebagai daerah yang berdaulat pangan dan berakar pada kearifan lokal hanya akan menjadi mitos belaka.

Petani tidak butuh pujian dalam syair atau penghargaan seremonial. Mereka butuh perlindungan yang nyata, dukungan kebijakan yang berpihak, dan pengakuan atas peran vital mereka dalam menjaga pangan, budaya, dan lingkungan. Jogja yang istimewa seharusnya menjadi tempat di mana petani bisa bertahan hidup dengan bermartabat, lahan dijaga sebagai warisan bersama, dan pembangunan dilakukan dengan adil serta berkelanjutan. Hanya dengan itu, Jogja bisa tetap romantis — bukan dalam kenangan, tetapi dalam kehidupan nyata mereka yang selama ini menumbuhkan peradaban dari tanah yang mulai ditinggalkan.

By Tim Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Menarik Lainnya