Oleh: Agnia Rosyidah
Kota Jakarta adalah nama ibu kota Republik Indonesia. Sebelum bernama Jakarta saat ini, kota ini diketahui mengalami beberapa kali perubahan nama berdasarkan periode kekuasaan kolonial saat itu.
Berikut sejarah singkat nama Jakarta dari masa kemasa, bermula dari Sunda Kelapa hingga nama Jakarta saat ini.
Sunda Kelapa (397-1527)
Pada masa pemerintahan Kerajaan Sunda Padjajaran yang ibu kotanya di daerah Bogor, Kelapa merupakan kota pelabuhan yang terpenting yang dimiliki Kerajaan Sunda. Padjajaran adalah kerajaan Hindu yang dikelilingi oleh kesultanan yang kuat. Di bagian arah barat ada Kesultanan Banten yang masih di bawah kendali Padjajaran, tetapi semakin terislamisasi. Penguasa Banten juga semakin menjalin hubungan dekat dengan kesultanan lain seperti dengan Kesultanan Demak dan Cirebon, dimana kedua kesultanan tersebut adalah musuh utama kerajaan Padjajaran. Bukan hanya di pulau Jawa, tetapi juga di sentero nusantara dimana saat itu Islam sedang menjadi kekuaasaan utama, dan Kerajaan Padjajaran hampir tidak memiliki sekutu.
Saat Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, Padjajaran melihat kesempatan untuk menjadikan Portugis sebagai sekutu. Pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga dari Kerajaan Sunda mengutus Putera Mahkota, Surawisesa ke Malaka (Penang, Malaysia kini) untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang lada dan memberi hak membangun benteng pertahanan di Sunda Kelapa. Sebagai gantinya Portugis akan mengirimkan bantuan militer kepada Padjajaran untuk menyaingi Demak dan Cirebon.
Pada 21 Agustus, dokumen kontrak perjanjian ditanda tangani oleh Henrique Leme dari Portugis dan Surawisesa dari Sunda Kelapa. Perjanjian ini dikukuhkan dengan pembuatan Padrao yang didirikan di tanah yang akan menjadi tempat benteng pertahanan di muara Ciliwung.
Perjanjian ini dianggap ancaman oleh Kesultanan Demak dan Cirebon karena perjanjian tersebut bisa menjadi ancaman terhadap masa depan perekonomian dan perdagangan kedua kesultanan, apalagi penguasa Demak telah melihat sepak terjang Portugis sejak menguasai Malaka yang sangat merugikan para pedagang muslim.
Ketika Syarif Hidayatullah (penguasa Banten saat itu) mengetahui perjanjian tersebut, ia mengirimkan pesan kepada Kesultanan Demak untuk mengirim pasukan ke Banten dan menyerang kota pelabuhan Sunda Kelapa. Pada Tahun 1527 pasukan gabungan Cirebon yang dipimpin oleh Hasanuddin putra Syarif Hidayatullah, dan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah berlayar ke Banten menguasai pelabuhannya, lalu menyerang Sunda Kelapa. Portugis terlambat memberikan bantuan kepada Padjajaran, karena pada tahun setelah perjanjian itu disahkan, sebuah pemberontakan terjadi di koloni Portugis di Goa India, dimana Portugis harus mengirim mayoritas pasukan mereka ke Goa India untuk meredam pemberontakan tersebut, selanjutnya kembali ke Malaka pada tahun 1526. Pada tahun 1527, pasukan Demak dan Cirebon sedang menyerang Sunda Kelapa, dan pihak Portugis tidak dapat mengirimkan bantuan tepat waktu. Pada 22 Juni 1527 pasukan yang dipimpin Fatahillah berhasil merebut Pelabuhan Sunda Kelapa.
Jayakarta (1527-1619)
Setelah Sunda Kelapa berhasil dikuasai oleh Pasukan Banten di bawah komando Fatahillah, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan. Ada banyak versi penulisan Jayakarta. Orang Belanda menulis nama kota ini dengan Jacatra, Jakatra, Jakarta. Demikian juga dengan orang Portugis yang menulis nama kota ini dengan ejaan yang berbeda seperti Xacatara dan sebagainya. Perbedaan itu terjadi karena di abad ke-16 sampai 19 belum ada standarisasi penulisan nama-nama tempat di Indonesia dan di Asia pada umumnya.
Fatahillah menjadi penguasa di Jayakarta sejak 1527 hingga 1570. Jayakarta dijadikan salah satu daerah Kabupatian Banten dengan Tubagus Angke diangkat sebagai bupatinya. Pada saat Tubagus Angke menjadi penguasa Jayakarta, para pedagang Inggris dan Belanda mulai berdatangan menyinggahi kota dagang ini, disamping membuka kantor daganganya di Pelabuhan Banten.
Pada tahun 1610, Pangeran Jayakarta Wijayakrama melakukan perjanjian dagang dengan VOC (Verenigde Oost-indische Compagnie). Kemudian pada tahun 1614, Gubernur Jenderal VOC, van Reijnst mendapatkan izin untuk mendirikan benteng di sebelah utara keraton. Pada tahun 1618 Gubernur Jederal Jan Pieterszoon Coen memperluas dan membangun kembali benteng sehingga menjadi bangunan yang kokoh. Benteng tersebut berbentuk segi empat dan disetiap sudutnya ditempatkan meriam yang menghadap ke keraton.
Tindakan ini menimbulkan amarah Pangeran Jayakarta karena VOC dianggap memprovokasi dan memancing bala tentara Pangeran Jayakarta menyerang benteng tersebut. Serangan ini memang sedang ditunggu oleh VOC. Maka pada bulan April sampai Mei 1619 terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Pangeran Jayakarta dengan VOC. Namun, saat menghadapi VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen, dengan keras Pangeran Wijayakrama tidak mengizinkan VOC mendirikan benteng. Hal ini membuat Coen menjadi berang. Ia segera berangkat ke Ambon mengambil bala bantuan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Belanda berhasil membumi-hanguskan dan menduduki Jakarta pada 30 Mei 1619. (Tjandrasasmita, 2004)
Batavia (1619-1942)
Sejak Tanggal 30 Mei 1619 Jayakarta ditaklukan oleh VOC. Nama Jayakarta atau sering disebut Jaccatra diganti oleh pimpinan VOC menjadi Batavia. Seiring berjalannya waktu wilayah kota Batavia diperluas. Semenejak itu Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan di bawah kekuasaan Belanda dengan campur tangan Jan Piterszoon Coen. Belanda juga membuat Batavia menyerupai kota-kota yang ada di negaranya dengan ciri khas berbentuk blok dan dipisahkan dengan kanal.
Djakarta Tokubetsu Shi (1942-1945)
Pada awal maret 1942 Jepang merebut kekuasaan Belanda. Nama Batavia diubah oleh penguasa waktu itu menjadi Djakarta Tokubetsu Shi. Kabar perubahan kota ini lalu disampaikan lewat maklumat kantor pusat pemerintahan militer. Penamaan jalan juga dirubah menjadi nama-nama Jepang atau Indonesia.
Jakarta (1945-sekarang)
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, nama Jakarta tetap dipakai dengan meninggalkan nama berbau Jepang. Pada 22 Juni 1955, nama Jakarta pada akhirnya dikukuhkan yang di pimpin oleh gubernur pertama Jakarta yaitu Soemarto Sosroatmodjo.