Pewarta : Adam Gumelar | Editor : Nurul Ikhsan
JakartabisnisID – Sejumlah tuduhan kasus korupsi diarahkan ke mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen (Purn) Djaja Suparman. Menurutnya, secara sistematis ia dituduh telah melakukan korupsi selama menjabat Pangkostrad tahun 1999-2000. Di kasus ini, Letjen (Purn) Djaja Suparman dituduh tidak bisa mempertanggung jawabkan uang negara sejumlah Rp189 milyar.
Letjen (Purn) Djaja Suparman menegaskan dalam keterangan resmi yang diterima JakartabisnisID, (5/7/2022) bahwa dirinya telah menjalankan tugas dengan baik sebagai prajurit TNI, dan tidak melakukan korupsi seperti yang dituduhkan. Dalam tuduhan yang menurutnya sudah dibuat skenario ini, ia mensinyalir ada keterlibatan pejabat publik, oknum Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan media untuk membentuk opini bahwa dirinya telah melakukan tindakan korupsi yang tidak pernah ia lakukan.
BACA JUGA : Siap Jalani Eksekusi, Letjen (Purn) Djaja Suparman Tegaskan Tetap Menolak Putusan Dakwaan Korupsi
“Setelah saya menyerahkan tugas dan tanggung jawab sebagai Pangkostrad kepada pejabat baru, muncul tuduhan bahwa saya telah melakukan korupsi di Kostrad sebesar Rp189 milyar, yang disampaikan dalam press release. Opini buruk ini berkembang luas melalui pemberitaan media di dalam dan luar negeri selama 3 bulan,” ujarnya tertulis.
Djaja Suparman menegaskan, kemudian pada akhirnya BPK RI dan Irjenad TNI menyatakan tuduhan terebut sama sekali tidak terbukti.
“Saya tidak menanggapi isu itu, karena sebelumnya sudah mengetahui rencana jahat mereka. Tetapi opini buruk tentang saya telah menjadi opini publik yang merugikan nama baik pribadi dan keluarga besar di mata publik, serta menghambat karir militer selama 6 tahun (2000-2006),” tandas Komandan Sesko TNI 2000-2003.
Di kasus lain, ia juga dituduh hingga di dakwa telah melakukan tindakan korupsi dalam kasus ruislag lahan milik Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 hektar yang digunakan untuk pembangunan proyek Jalan Tol Ruas Waru-Tanjung Perak Surabaya Tahun 2006-2009. Saat kasus itu terjadi, Letjen (Purn) Djaja Suparman menjabat sebagai Pangdam V/Brawijaya.
Dari tuduhan tersebut, Letjen (Purn) Djaja Suparman menyimpulkan ada skenario besar yang telah dibuat yang bertujuan untuk memenjarakan dirinya.
“Pembunuhan karakter mulai Juni 2006-Februari 2009, 6 bulan setelah purna bhakti mereka melakukan pembunuhan karakter melalui pembentukan opini bahwa saya sebagai mantan Pangdam V/Brawijaya 1997-1998 telah melakukan korupsi Rp17,6 milyar dengan ruislag lahan Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 hektar kepada PT CMNP Tbk yang akan di bangun Tol Waru-Tanjung Perak Surabaya, untuk menghambat dan menutup karir dan kehidupan saya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara selama 32 bulan,” ungkap mantan Inspektur Jenderal TNI tahun 2003-2005.
Dijelaskan Letjen (Purn) Djaja Suparman, skenario tersebut untuk mengkriminalisasi dirinya melalui proses hukum atas dasar laporan yang diduga direkayasa dengan tujuan menjebloskan dirinya ke penjara.
Lebih lanjut, Letjen (Purn) Djaja Suparman memaparkan, melalui rekomendasi Ketua BPK RI kepada Menhankam dan Panglima TNI Nomor:87/S/III/-XIV-1/07/2008 tanggal 23 Juli 2008 bahwa perlu dilakukan tindakan hukum terhadap mantan Pangdam V/Brawijaya 1997-1998, karena telah melakukan ruislag lahan milik Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 hektar di Kecamatan Waru, Surabaya kepada PT CMNP Tbk untuk di bangun jalan Tol SS Waru Surabaya. Hasil audit BPK RI tersebut diperkirakan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp13.344 milyar. Rekomendasi tersebut kemudian berubah menjadi “…atas indikasi tindak pidana korupsi pada proses lahan hibah tanah TNI AD cq Kodam V/Brawijaya…”.
Namun, kedua substansi rekomendasi Ketua dan Auditor Utama BPK RI tersebut, ungkap Letjen (Purn) Djaja Suparman, dimentahkan sendiri oleh Keterangan Ahli BPK RI, yang menyatakan bahwa “perkara ini bukan perkara tindak pidana korupsi, tetapi perkara lain, karena tidak pernah dilakukan audit dengan tujuan tertentu oleh BPK RI, yang hasilnya dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan Perhitungan Kerugian Negara”. Kemudian, Ketua Majelis Hakim bertanya: Siapa yang memutuskan dalam persidangan ini?, dan di jawab: “Yang Mulia”.
Djaja Suparman menjelaskan, kasus ini bergulir dari prores penyelidikan dan penyidikan, sampai pelimpahan perkara oleh Papera selama 43 bulan, tepatnya mulai dari 7 Januari 2009-12 Oktober 2012, dengan mengalihkan perkara yang terjadi tahun 2006-2009 menjadi perkara yang direkayasa. Sebagai mantan Pangdam V/Brawijya ia merasa didorong menjadi Terdakwa Tunggal Pelaku Korupsi yang merugikan negara Rp13.344.252.200, karena telah menghibahkan tanah Kodam V/Brawijya pada tahun 1998.
“Selama 43 bulan ini telah terjadi pelanggaran Hukum Acara Pidana Militer, pelanggaran sumpah jabatan, dan pembiaran perkara. Karena itu pada tanggal 15 Agustus 2012 dalam acara kenegaraan di Istana, saya meminta kepastian hukum kepada Panglima TNI karena sudah 43 bulan dibiarkan oleh Kasad yang bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara. Mungkin karena ragu atau tidak yakin, tetapi perkara itu harus diselesaikan melalui mekanisme yang diatur dalam UU Peradilan Militer dan peraturan jabarannya, bukan dibiarkan. Mengapa saya meminta kepastian hukum kepada Panglima TNI, karena menurut UU Peradilan Militer, Ankum dan Papera saya adalah Panglima TNI dengan alasan jabatan terakhir sebelum pensiun sabagai Inspektur Jenderal TNI,” terangnya.
Pelaksanaan persidangan di Pengadilan Tinggi Militer di Surabaya dimulai Maret-September 2013. Selama menjalani persidangan militer berjalan yang menurutnya penuh drama tersebut, ia mengatakan melihat ada keraguan dari Oditur Militer sebagai penuntut, dan Majelis Hakim.
“Hanya Ketuanya saja yang sejak awal sudah mengatakan saya bersalah. Kemudian yang lebih janggal lagi adalah Majelis Hakim selalu mengatakan saya diperintahkan oleh Kasad dan Panglima, padahal mereka (Pengadilan Militer) itu bawah Mahkamah Agung,” imbuhnya.
Ia juga mengaku adanya keraguan yang muncul dalam persidangan. “Karena perkara yang terjadi tahun 2006-2009 dialihkan menjadi perkara tahun 1998, dan mereka tidak tahu persis tentang apa yang terjadi selama saya menjadi Panglima Kodam tahun 1998. Oditur selaku penuntut tidak pernah memeriksa saya. Para saksi mantan asisten saya banyak yang tidak mengerti dan mencabut pernyataannya, dan tidak ada satu pun para pejabat dan pelaku pembangunan pada kurun waktu 2006-2009 yang dijadikan saksi atau terdakwa dalam peridangan,” tandasnya.
“Untuk drama yang paling membanggakan adalah adanya bisikan kepada pengacara saya dari (pihak) militer agar tidak membela terdakwa sepenuhnya, dan saya mendapat bisikan, salah atau benar Abang harus di putus bersalah. Dan saya jawab sudah tahu skenarionya,” papar Pangdam Jaya tahun 1998-1999.
Hasil sidang pengadilan, pada 26 September 2013 majelis hakim menyatakan dirinya sebagai terdakwa terbukti bersalah. Di kasus ruislag lahan Kodam V/Brawijaya seluas 8,82 hektar kepada PT CMNP Tbk yang akan di bangun Tol Waru-Tanjung Perak Surabaya, ia akhirnya di vonis penjara 4 tahun. Anehnya, kata Djaja Suparman, setelah di vonis, ia sebagai terdakwa tidak langsung di tahan.
“Aneh tapi nyata, seharusnya seorang yang dinyatakan sebagai koruptor harus langsung masuk penjara. Tapi majelis hakim tidak melakukan itu. Artinya, ada skenario yang telah disusun oleh penggagas, yaitu Djaja Suparman harus mati berdiri dan tidak ada kesempatan untuk memulihkan nama baiknya,” tandas penerima Bintang Maha Putera tahun 1999, dan Bintang Dharma tahun 2005.
Djaja Suparman berkesimpulan, menurutnya perkiraan yang akan terjadi itu menjadi kenyataan. “Karena pada waktu itu, putusan Pengadilan Militer Tinggi yang berkekuatan hukum tetap pada tahun 2006, saya minta di eksekusi kepada Kepala Odmilti III Surabaya, tetapi di tolak karena katanya perkara ini salah orang. Pembiaran selama 6 tahun atas status saya merupakan pelanggaran hukum,” ungkapnya.
Dikatakan Djaja Suparman, selanjutnya pada 13 Mei 2022, Kepala Odmilti III Surabaya mengirim surat panggilan untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 30 Mei 2022.
“Sebagai warga negara yang taat pada hukum, saya datang memenuhi panggilan. Tentu tidak bisa berdebat dengan pelaksana. Kemudian sebagai patriot sejati saya menolak semua putusan majelis hakim, dan sebagai warga negara harus mengikuti prosedur hukum. Saya siap masuk penjara tanggal 16 Juli 2022 di Lembaga Pemasyarakatan Militer di Cimahi, Jawa Barat,” terangnya.
Melalui surat terbuka yang ditujukan ke Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo, dan ditembuskan ke Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Kepala Staf TNI AD Jenderal Dudung Abdurachman, Letjen (Purn) Djaja Suparman menyampaikan fakta dan data, dan meminta keadilan untuk menegakkan hukum dan memberikan kepastian hukum atas kasusnya.
“Bahwa tanpa disadari oleh para pejabat yang terkait dalam perkara yang saya hadapi ini selama 16 tahun, dan mungkin menjadi 20 tahun 9 bulan, telah melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia berat. Oleh karena itu, dengan segala hormat saya memohon keadilan kepada Bapak Presiden untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum, serta implementasi demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa dalam proses hukum di negara ini,” katanya.
“Saya harus siap mati berdiri untuk memulihkan nama baik dan mati di penjara menanti keadilan dan kepastian hukum,” pungkas Letjen (Purn) Djadja Suparman.
Sekilas profil Letjen (Purn) Djaja Suparman
Sejumlah jabatan penting di tubuh TNI pernah di pegang oleh Letjen (Purn) Djaja Suparman. Lulusan Akademi Militer tahun 1972 dari kesatuan infanteri baret hijau, kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Desember 1949 ini pernah menjabat posisi penting sebagai Kasdam IV/Brawijaya tahun 1996. Selanjutnya Pangdam V/Brawijaya tahun 1997-1998, dan Pangdam Jaya tahun 1998-1999. Karirnya terus menanjak hingga dipercaya menjabat Panglima Kostrad tahun 1999-2000, selanjutnya Komandan Sesko TNI 2000-2003. Inspektur Jenderal TNI tahun 2003-2005 dijabat Letjen (Purn) Djaja Suparman hingga pensiun dari TNI.
Selama aktif sebagai prajurit TNI, Letjen (Purn) Djaja Suparman telah mendapat berbagai penghargaan. Penghargaan prestisius yang telah didapat sebagai prajurit TNI antara lain Bintang Maha Putera tahun 1999, dan Bintang Dharma tahun 2005.